Newest Post

Archive for February 2014


           Kiri dan kanan tidak hanya menunjukan letak atau arah. Lebih dari itu, kiri dan kanan memiliki makna filosofi. Kiri itu dianggap mewakili hal-hal yang dianggap tidak baik sebaliknya kanan mewakili hal-hal yang dianggap baik. Misalnya kiri itu dianggap mewakili ketidakadaan Tuhan sedangkan kanan itu mewakili keberadaan Tuhan. Secara normatif, kognisi kita akan cenderung menyatakan ketidakadaan Tuhan itu tidak baik. Kita biasanya akan cenderung sinis menghadapi orang yang dianggap kekiri-kirian. Beraktifitas dengan tangan kiri itu dianggap tidak sopan. Burung Garuda dari awalnya selalu menghadap ke kanan, menghadap kepada kebenaran.

            Seperti halnya orang berbahasa Inggris menyimbolkan kata benar dengan ‘right’. Kalaupun ada kemudahan yang ditawarkan kiri itu biasanya ada di persimpangan jalan. Biasanya belok kiri boleh jalan terus, sedangkan ke kanan harus mengikuti APILL.

            Bagi saya pribadi hal tersebut hanyalah simbol saja. Untuk memudahkan pemahaman saja. Meskipun seringkali menimbulkan kesalahpahaman jika kita terjebak dalam simbol-simbol itu. Lebih mengutamakan simbol itu sendiri daripada hal yang diwakilkannya. Karena memang pada kenyataannya tidak begitu. Kebenaran itu bukanlah kanan, ketidakbenaran juga bukan kiri. Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri.

          Pada kenyataannya kanan dan kiri itu saling membutuhkan, saling melengkapi, sehingga sudah seharusnya saling memahami. Tanpa kiri, kanan bukanlah apa-apa, sebaliknya juga begitu. Tanpa salah satu dari keduanya maka tidak akan tercipta keseimbangan. Tanpa keseimbangan maka tidak akan ada kehidupan. Yang tegak akan roboh, yang berdiri akan jatuh, yang bersatu akan tercerai-berai.

          Sudahlah. Tidak ada gunanya memperdebatkan simbol-simbol. Buang-buang waktu, juga buang-buang kopi…

LeftRight LeftRight

Friday, 28 February 2014
Posted by Unknown
  Ada yang pernah mendengar sebuah ungkapan yang berbunyi ‘cogito ergo sum’? Mungkin tidak banyak. Tapi mungkin sudah banyak yang sudah mendengar ungkapan yang berbunyi ‘saya berpikir maka saya ada’. Ungkapan itu sama saja. Ungkapan yang dipopulerkan oleh Rene’ Descartes. Seorang pemikir sekaligus praktisi yang berasal dari Prancis.

            Tahu apa yang dikerjakan oleh Plato yang berpuncak pada Hegel? Tahu juga apa yang dikerjakan oleh Heraklit hingga berpuncak pada Marx-Engels? Ya berpikir. ‘Cuma’ berpikir. Tapi buah pikiran merekalah yang bahkan sampai saat ini membelah manusia dalam 2 arus besar, terutama negara barat. Idealis dan materialis. Buah pikiran yang sampai sekarang masih diperbincangkan lalu diperdebatkan bersama bergelas-gelas kopi. Buah pikiran yang menjadi dasar lahirnya berbagai paham.

            Tapi di sini kita tidak membicarakan tentang idealis dan materialis. Tapi berbicara tentang berpikir itu sendiri. Berpikir adalah sebuah titik, di mana titik inilah yang menjadi pembeda terbesar antara manusia dengan makhluk lainnya. Yang akhirnya terlihat jelas pada tingkatan perbuatan. Manusia berbuat, bertindak atas dasar pemikiran, sedangkan makhluk lainnya bertindak atas dasar insting. Karena itulah kehidupan manusia jauh lebih dinamis, setiap saat bisa berubah, ber-revolusi. Berbeda dengan mahkluk selain manusia, semuanya berjalan berdasarkan insting, yang sifatnya hampir statis, tidak banyak berubah dari awalnya. Pada awalnya manusia makan pisang, monyet juga. Sekarang monyet tetap makan pisang sedangkan manusia sudah makan pisang goreng, pisang cokelat, es pisang ijo, pisang kremes Pontianak, sale pisang. Tapi dengan pikirannya juga manusia membuat kerusakan. Bahkan jauh lebih merusak dari bencana alam sekalipun. Pada awalnya manusia dan monyet sama-sama makan dari hasil hutan. Sekarang manusia makan hutan sekaligus monyet-monyetnya!!!

          Pikiran bagi manusia itu adalah anugrah terbesar. Banyak orang secara fisik dilahirkan kurang sempurna. Namun dengan anugrah pikiran yang dipergunakan sebaik-baiknya maka ketidak-sempurnaan fisik itu menjadi tidak berarti. Sebaliknya banyak manusia dilahirkan dengan segala kesempurnaan fisik namun karena tidak bisa menggunakan anugrah pikiran dengan sebaik-baiknya maka kesempurnaan fisiknya itupun menjadi sangat tidak berarti.

          Ya karena memang pemikiran itu hidup sepanjang jaman, bahkan ketika badan sudah tidak lagi bersatu dengan raga. Karena pemikirannyalah manusia pantas dikenang sepanjang masa.

          Berpikir adalah fitrah manusia. Tidak berpikir maka sama saja kita mensejajarkan diri dengan hewan, tumbuhan, benda mati. Melarang orang lain untuk berpikir sama saja menurunkan derajat manusia itu sendiri, artinya sama saja menurunkan derajat diri sendiri.

          Ketika manusia berhenti berpikir, tidak mau berpikir, maka ketika itu manusia tidak ada…

Berpikir

Posted by Unknown

  Salah satu aktifitas yang sering membuat saya penasaran adalah tidur. Apa saja yang kita lakukan ketika tidur tidak pernah kita tahu. Ya bagaimana kita tahu kalau kita sedang tidur. Suatu saat ingin sekali saya memasang kamera yang merekam apa saja yang saya lakukan ketika tidur. Tetapi urung saya lakukan karena saya merasa bodoh sendiri. Apa yang dilakukan ketika tidur ya tidur, masak main bola. Akhirnya saya memilih untuk memperhatikan orang-orang yang sedang tidur saja.

   Ada macam-macam gaya orang tidur. Ada yang meringkuk, telungkup, terlentang, menyamping. Ada yang bergaya seperti model. Ada yang senyum-senyum, mungkin sedang mimpi indah. Ada juga yang tidurnya seru, sambil memukul dan menendang. Ada yang ngorok seperti sepeda motor 2 tak. Ada yang matanya tetap terbuka. Ada yang suka mengigau. Ada yang tidurnya seperti orang mati, diapakan saja tidak akan bangun sebelum waktunya bangun. Sebaliknya ada yang tidurnya seperti agen special CIA, disentuh sedikit saja langsung bangun, lalu tidur lagi. Ada yang tidurnya tipe petualang, semua luasan kasur dijelajahi. Ada juga yang tidurnya bikin mangkel, sering kentut, dan suaranya itu lho, benar-benar loss. Yang jelas, hampir semuanya ngiler.

    Namun, bagaimanapun gaya tidurnya, sebanyak apapun ilernya, yang paling saya sukai adalah ketika memperhatikan wajah orang-orang yang sedang tidur. Rasanya damai sekali. Tidak ada gurat-gurat kesombongan, keangkuhan, kecongkakan, kedengkian, kemarahan, kesedihan. Benar-benar damai.

   Mungkin kita perlu mengadakan hari tidur sedunia. Setidaknya ada satu hari dalam setahun yang benar-benar damai. Ya satu hari yang benar-benar damai…
"When captured birds grow wiser, they try to open the cage with their beaks. They don't give up, because they want to fly again" (Genma)

Captured Bird

Posted by Unknown
"You only get one life. There's no need to choose an impossible path. It's fine to live as you like and die as you like, however.. Protecting a precious person.. You must not forget this no matter what path you choose".

Third Hokage

Posted by Unknown

“A smile is the best way to get away with trouble even if it’s a fake one.” 

Quote of The Day

Posted by Unknown
MAKALAH PENGANTAR ILMU PENDIDIKAN
“Pendidikan untuk Anak Jalanan”




Disusun Oleh :
Ridlo Firmansyah (130210103078)

Pembimbing :
Bevo Wahono, S.Pd, M.Pd

Sulifah, S.Pd, M.Pd

Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Pendidikan untuk Anak Gelandangan”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah MKU Pengantar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jember.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
1.      Bapak Bevo Wahono, S.Pd., M.Pd. dan Ibu Sulifah, S.Pd., M.Pd.  yang sudah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
2.      Rekan-rekan semua di Kelas PIP A Mata Kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan  Universitas Negeri jember.
3.      Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini
4.      Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Jember, 14 September 2013
         Penyusun





DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar…………………………………………………….....................      i
Daftar Isi…………………………………………………………......................       ii
Bab I Pendahuluan………………………………………………………............     1
1.1 Latar Belakang………………………………….....…..................................       1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………...................................       2
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………..….................       2
Bab II Pembahasan……………………………………………………...............      3
2.1 Pengertian Anak Gelandangan………………...............................................      3
2.2 Faktor Penyebab Munculnya Anak Jalanan di Indonesia..............................       5         
2.3 Upaya Pemerintah dalam Pemenuhan Pendidikan Anak Gelandangan,
serta Upaya untuk Memberdayakan Anak Gelandangan…………………….    6
Bab III Penutup…………………………………………………….....................     9
3.1 Kesimpulan…………………………………………….................................      9
3.2 Saran………………………………………………………...........................      9
Daftar Pustaka…………………………………………………….......................     10













BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dewasa ini, sering kali kita melihat, bahkan mendengar berbagai tayangan dan berita yang mengangkat tema kemiskinan. Salah satu bentuk kemiskinan yang paing menyayat hati adalah anak gelandangan. Mereka harus bekerja membanting tulang pada usia di mana anak lain sedang asik bermain dan bersekolah. Anak gelandangan yang sering kali dibilang orang sebagai alat pencari uang bagi kaum premanisme ternyata mempunyai hak dan kewajiban. Mereka yang selama ini hidup menyendiri berteman dengan sesama anak gelandangan, membuat mereka lupa bahkan sengaja dilupakan untuk mendapatkan hak-hak tersebut. Berbagai harapan ketika mereka hidup di dunia ini menjadi sesuatu yang sulit, bahkan kecil kemungkinan untuk didapat, berbeda drastis dengan anak-anak yang hidup serba berkecukupan, dan serba mewah. Mereka pasti mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Itu lah yang membedakan kehidupan anak-anak gelandangan, dengan anak-anak yang berkehidupan normal pada umumnya. Padahal anak-anak jalanan mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan, mereka butuh yang namanya pendidikan. Jadi tidak hanya mereka yang punya uang saja yang dapat mengenyam pendidikan, mereka yang punya harapan terkecil seperti anak gelandangan pun ingin mengenyam pendidikan seperti anak lainnya. Kenyataannya apakah mereka mendapatkan itu, apakah uang yang kita bayarkan, yang kita diwajibkan untuk membayarnya, dan kita anggap pajak bahkan subsidi masyarakat benar-benar telah tertuju untuk mereka.
Mereka mempunyai hak yang sama dengan kita. Jelas mereka butuh dan mau mencicipi barang mewah yang bernama pendidikan. Lantas, adakah bukti bahwa mereka telah mendapatkannya?.
Dalam makalah ini akan kami bahas mengenai seperti apakah kondisi anak gelandangan itu, faktor penyebab timbulnya anak gelandangan, upaya pemenuhan pendidikan dan pemberdayaan bagi anak gelandangan di Indonesia.



1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah yang dimaksud dengan anak gelandangan?
1.2.2        Apa saja faktor-faktor penyebab munculnya anak gelandangan di Indonesia?
1.2.3        Bagaimana upaya pemerintah pemenuhan hak mereka untuk memperoleh pendidikan, serta upaya untuk memberdayakan anak gelandangan ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1   Untuk mengetahui kondisi anak gelandangan di Indonesia
1.3.2   Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab munculnya anak gelandangan di Indonesia.
1.3.3   Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam pemenuhan pendidikan anak gelandangan, serta upaya untuk memberdayakan mereka.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Gelandangan
Kering sudah rasanya air mataku
Terlalu banyak sudah yang tertumpah
Menangis meratapi buruk nasibku
Nasib buruk seorang tunawisma

Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku  makan

Jembatan menjadi tempat perlindungan
Dari terik matahari dan hujan
Begitulah nasib yang aku alami
Entah sampai kapan hidup begini
            Lirik lagu Rhoma Irama tersebut dapat dijadikan gambaran umum mengenai anak gelandangan. Setidaknya, seperti itulah kondisi dan kehidupan mereka sehari-hari. 
Untuk pengertian lebih lanjut, anak gelandangan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu : Street child are those who have abandoned their homes, school and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a nomadic street life (anak jalanan merupakan anak-anak berumur dibawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya (Saleh, 2009 : 16).
            Anak jalanan dapat dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu :
1.      Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya ( children of the street ). Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh faktor social psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan, penolakan, penyiksaan dan perceraian orang tua. Umumnya mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan solidaritas sesama temannya telah menjadi ikatan mereka. 
2.      Anak-anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tua. Mereka adalah anak yang bekerja di jalanan (children on the street). Mereka seringkali diindentikan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingg sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya. 
3.      Anak-anak yang berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal dengan orang tuanya, beberapa jam dijalanan sebelum atau sesudah sekolah. Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling menyolok adalah berjualan Koran.
4.      Anak-anak jalanan yang berusia di atas 16 tahun (vulnerable to be street children). Mereka berada di jalanan untuk mencari kerja, atau masih labil suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang dewasa ( orang tua ataupun saudaranya ) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan ( kuli panggul ), pengasong, pengamen, pengemis dan pemulung (Depsos,1999:12).
Anak gelandangan mempunyai ciri maupun sifat khas, antara lain :
1.      Mudah tersinggung perasaannya.
2.      Mudah putus asa dan cepat murung, kemudian nekat tanpa dapat dicegah oleh orang lain.
3.      Kurang kasih sayang.
4.      Tidak mau bertatap muka dengan orang lain, maksudnya tidak mau melihat orang lain secara terbuka.
5.      Sangat labil dan cenderung susah untuk dirubah walaupun sudah diberikan pengarahan yang positif.
6.      Memiliki keterampilan, akan tetapi keterampilan ini tidak dapat diukur dengan ukuran normatif masyarakat (Mangkoesapoetra,2005:22).
Hidup menjadi anak jalanan bukanlah sebagai pilihan hidup yang menyenangkan, melainkan  keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Anak jalanan bagaimanapun telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung  berpengaruh negatif bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Di mana labilitas emosi dan mental mereka yang ditunjang dengan penampilan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, sampah masyarakat yang harus diasingkan. Pada taraf tertentu, stigma masyarakat yang seperti ini justru akan memacu sifat alternatif mereka, yang pada akhirnya akan melahirkan sifat introvet, yakni cenderung sukar mengendalikan dan asosial. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa kelak,mereka juga menjadi generasi penerus bangsa, sama seperti anak lainnya.
2.2 Faktor Penyebab Munculnya Anak Gelandangan di Indonesia
Banyak faktor yang kemudian diidentifikasikan sebagai penyebab munculnya anak gelandangan di Indonesia. Adanya anak gelandangan di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota, tetapi justru karena tekanan tekanan ekonomi dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian terpaksa harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota (Suparlan, 1984 : 36 ).
Hal senada juga diungkapkan oleh Saparinah Sadli ( 1984 : 126 ) bahwa ada berbagai faktor yang saling berkaitan dan berpengaruh terhadap timbulnya masalah gelandangan, antara lain : faktor kemiskinan faktor keterbatasan kesempatan kerjafaktor yang berhubungan dengan urbanisasi dan masih ditambah lagi dengan faktor pribadi seperti tidak biasa disiplin, biasa hidup sesuai dengan keinginannya sendiri dan berbagai faktor lainnya.
            Secara umum, faktor yang menyebabkan seorang anak menjadi anak gelandangan antara lain :
a.       Kekerasan dalam  Keluarga
Kekerasan dalam  keluarga yang mereka alami, baik itu secara fisik maupun mental, akan mempengaruhi kondisi jiwa mereka secara keseluruhan. Sehingga anak merasa takut, kehilangan rasa kepercayaan, rasa aman, serta kehangatan yang seharusnya mereka temukan di dalam keluarga.
b.      Dorongan Keluarga
Anak gelandangan kebanyakan berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi lemah. Kenapa? Karena keluarga dengan kondisi tersebut pola pikirnya cenderung negatif terhadap pendidikan anak-anak meraka. Orang tua lebih memilih untuk mendorong anak mereka mencari nafkah demi membantu perekonomian keluarga, daripada harus membuang-buang uang demi bersekolah.
c.       Ingin Bebas
Anak yang memiliki masalah keharmonisan keluarga, akan cenderung menginginkan suatu kehidupan yang bebas, karena rumah sudah seperti suatu jeruji besi bagi mereka.
d.      Ingin Memiliki Uang Sendiri
Keadaan ekonomi keluarga yang lemah mendorong anak untuk melakukan berbagai cara agar pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya dapat terakomodasi. Mengingat usia mereka yang masih belum dewasa membuat mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan formal layaknya orang dewasa, sehingga mereka memilih cara yang dapat dilakukan oleh anak seusia mereka dengan turun ke jalanan.
e.       Pengaruh Teman
Teman dapat menjadi pengaruh yang besar bagi anak untuk turun ke jalanan. Kehidupan bebas di jalanan yang mereka ceritakan dapat menjadi magnet kuat untuk menarik anak lainnya mengikuti langkah mereka sebagai anak jalanan (Wijayanti,2010:17).
2.3. Upaya Pemerintah dalam Pemenuhan Pendidikan Anak Gelandangan, serta Upaya untuk Memberdayakan Anak Gelandangan
Persoalan yang kemudian muncul adalah anak-anak jalanan pada umumnya berada pada usia sekolah, usia produktif, mereka mempuanyai kesempatan yang sama seperti anak-anak yang lain, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”, kemudian UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan keputusan presiden RI No.36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention on The Right of The Child. Semua itu jelas menyebutkan bahwa pemerintah punya tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak terlantar dan tak terkecuali anak gelandangan, serta pemerintah juga harus memastikan bahwa anak gelandangan mendapatkan hak-hak asasi yang mereka inginkan sebagaimana hak-hak normal yang lain tak terkecuali pendidikan.
Salah satu bentuk pengaktualisasian pemerintah akan UUD dalam pemenuhan hak-hak anak gelandangan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut.
Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses informal yang dinilai paling efektif untuk menjadi sarana pemberdayaan anak gelandangan serta wahana dalam memberikan suasana pusat realisasi anak gelandangan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat.
Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak gelandangan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah :
1.      Membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
2.      Mengupayakan anak-anak kembali kerumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
3.      Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif (Saleh,2009:54).
Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak gelandangan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain :
1.      Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja social dan anak jalanan. Dalam hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.
2.      Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagi tempat melakukan diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak jalanan.
3.      Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya.
4.      Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
5.      Pusat informasi tentang anak jalanan
6.      Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi social anak.
7.      Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan social.
8.      Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat merupakan salah satu upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan.
9.      Edukasi,yaitu sebagai pusat pendidikan anak gelandangan. Melalui rumah singgah, mereka dapat tetap bekerja tanpa melupakan kewajiban mereka untuk terus menuntut ilmu. Berbagai pendidikan formal akan diberikan seperti halnya anak-anak di sekolah, serta tambahan ilmu soft skill yang nantinya berguna bagi kelangsungan hidup mereka.
Selain rumah singgah, upaya pemberdayaan anak jalanan dapat berbentuk melalui program-program seperti :
1.      Street Based
Pendekatan di jalanan untuk menjangkau dan mendampingi anak gelandangan agar mengenal, mempertahankan relasi dan komunikasi serta melakukan penanganan di jalan seperti konseling, diskusi, permainan, dan pemberian informasi. Orientasi street based diarahkan pada upaya menangkal pengaruh-pengaruh negative jalanan dan membekali anak gelandangan dengan nilai-nilai dan wawasan positif, seperti Mobil Sahabat Anak.
2.      Centre Based
Pendekatan yang memposisikan anak gelandangan sebagai penerima pelayanan di suatu center atau pusat kegiatan dan tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu. Selama berada di center ia akan memperoleh pelayanan sampai mencapai tujuan yang dikehendaki, seperti Boarding House atau Panti.
3.      Family and Community Based
4.      Pendekatan yang melibatkan keluarga dan masyarakat yang bertujuan mencegah anak-anak turun ke jalan dan mendorong penyediaan sarana pemenuhan kebutuhan anak. Family and Community Based mengarah pada upaya membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab serta partisipasi anggota keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah anak gelandangan.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
          Latar belakang anak menjadi anak gelandangan, mempengaruhi pembentukan dasar diri dalam hidupnya. Latar belakang menjadi anak jalanan dikarenakan keadaan ekonomi keluarga, pola asuh yang tidak tepat dan pengalaman hidup yang dialaminya.
Penyebab awal mereka terjun ke jalanan pada umumnya karena kondisi keluarga dan perekonomian yang tidak menentu dan mereka juga sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan mereka tidak betah di rumah. Aktivitas yang dilakukan mereka pun beragam mulai dari mengamen, menjadi penjual asongan,hingga pengemis. Semua itu mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka dan kebutuhan fisik keluarga mereka. Dibalik ini semua mereka menginginkan sebuah harapan yang sangat berharga yaitu memiliki kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Jadi pada dasarnya pemberdayaan anak-anak gelandangan seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan berpihak satu sama lain bukan hanya salah satu saja. Seperti melakukan berbagai program pendidikan , bimbingan belajar, pendidikan agama, pelatihan seni, kreatifitas dan olahraga serta adanya forum yang memiliki rasa kekeluargaan sehingga mereka tidak sendiri dan merasa kesepian.

3.2 Saran
3.2.1 Bagi Pemerintah
Pemerintah sebaiknya jangan terlalu cepat untuk mengambil keputusan dalam membuat sebuah peraturan. Karena belum tentu peraturan yang dibuat itu selalu menguntungkan bagi semua orang dan jangan melanggar hak-hak yang telah ada sejak kodratnya seperti anak-anak, karena akan menyengsarakan kehidupannya kedepan.
3.2.2 Bagi Orang Tua
Sebaiknya pola asuh yang diterapkan jangan sampai membuat anak tidak nyaman dirumah atau sampai melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan karena dengan begitu anda sudah menyelematkan rumah tangga anda dan menyelamatkan keharmonisan rumah tangga. Jangan sekali-sekali untuk mengeksploitasi anak demi kepentingan sendiri karena itu sama saja melanggar apa yang menjadi haknya.
           

DAFTAR PUSTAKA
Depsos. 1999. Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah
Singgah. Jakarta: Ditjen Binkesos Depsos RI.
Mangkoesapoetra, Arief Achmad. 2005. Pemberdayaan Anak Jalanan. Bandung : Bandung Raya.
Sadli, Saparinah.2007. Problematika Pendidikan Anak Jalanan.Jakarta : Grafika.
Marzuki, Saleh. 2009. Dimensi-dimensi Pendidikan Nonformal. Malang: Universitas Negeri Malang.

Wijayanti, Pratiwi. 2010. Aspirasi Anak Jalanan. Semarang : Ombak.





// Copyright © Kontrakan E-dukasi //Anime-Note//Powered by Blogger // Designed by Johanes Djogan //